fbpx
Seni BudayaTabanan

Malam Siwa Ratri, FPBT Ajak Generasi Muda Maknai Kisah Lubdaka Di Era Kekinian

TABANAN, MEDIAPELANGI.com–Diksusi kecil bertajuk “Memaknai Lubdhaka Jaman Now” digelar oleh Forum Pelestari Budaya Tabanan (FPBT) pada malam Siwa Ratri bertempat di Puri Anom Tabanan, Senin (15/1/2018).

Ketua Panitia I Putu Arya Wiguna mengatakan, pada Hari Siwa Ratri kali ini, disamping sebagai momentum untuk melakukan introfeksi diri, juga dirangkaikan dengan peringatan HUT ke-2 Forum Pelestari Budaya Tabanan (FPBT) yang puncaknya akan dilaksanakan pada bulan Pebruari 2018 mendatang.

“Ya di Hari Siwa Ratri ini kami sengaja memilih menggelar diskusi kecil bersama kalangan anak muda agar memahami kembali pesan moral yang ada pada kisah Lubdaka dan bagaimana relevansinya pada kehidupan sekarang, papar Arya di awal dikusi.

Diskusi renungan malam Siwa Ratri kali ini juga dihadiri oleh penglingsir Puri Anom AA. Ngurah Panji Astika yang juga selaku Ketua FPBT. Hadir pula Ketua Dekornas Puskor Hindunesia IB. Susena Pidada, Ketua PHRI Tabanan Gusti Bagus Damara, I Gede Arum Gunawan dari Teater Jineng, Perwakilan Jegeg-Bagus Tabanan, JCI Tabanan, Perwakilan organisasi kepemudaan seperti KNPI, KMHDI, Pradah, dan sejumlah anak muda perwakilan sekaa seni di Tabanan.

Ketua FPBT AA. Ngurah Panji Astika pada kesempatan ini mengatakan, banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang bisa kita petik selama 2 tahun terakhir ini.  Kegiatan seni-budaya kini menjadi isu “seksi” di Tabanan dan anak muda alumi FPBT walau sudah jarang datang ke sekretariat tetapi saya dengar mereka mulai berani tampil mandiri berkesenian di desa asalnya.  “Itu malah bagus karena sejalan dengan Visi-Misi  FPBT mendorong anak muda berkesenian dimana saja, paparnya Ngurah Panji.

Baca Juga:  Semarak Buleleng: Ribuan Pengunjung Memadati Pembukaan, Pj Bupati Ajak Masyarakat untuk Mencintai Buleleng secara Utuh

Lanjut Ngurah Panji, terbukti FPBT bisa eksis sampai sekarang bukan karena uang. Sejak tahun pertama kita bergerak tidak ada uang, tetapi kita punya semangat untuk berkegiatan untuk melestarikan seni-budaya. Dulu tahun pertama kita tidak punya peralatan seperti gamelan, kini sudah ada walaupun masih sederhana, begitu juga awalnya belum ada sekaa seni, kini anak-anak muda disini sudah membentuk sekaa seni. Bahkan sekaa-sekaa seni dari kalangan anak muda lainnya banyak yang bergabung dan berkegiatan disini. “Jadi uang bukan segalanya, semangatlah penentunya,” tandas Ngurah Panji.

Photo : Ketua FPBT AA. Ngurah Panji Astika (no 2 dari kiri)

Terkait kisah Lubdaka pada Hari Siwa Ratri jatuh pada Purwanining Tilem ke VII (Kapitu) merupakaan kisah sepanjang jaman, kisah Lubdaka memiliki nilai-nilai falsafah dan pesan moral yang sangat dalam, terang Ketua Dekornas Puskor Hindunesia IB. Susena Pidada.

Mpu Tanakung adalah sastrawan besar nusantara di jaman kerajaan dulu. Karyanya jauh lebih polpuler dari dirinya, itu sangat lumrah dijaman itu, Mpu Tanakung tidak ingin namanya populer.  Dalam konteks Bali saat ini, pesan moral dalam kisah Lubdaka sangat sejalan, sekarang orang Bali mulai lengah,  lengah karena mulai mengutamakan materi dan tidak taat lagi terhadap tatanan yang secara budaya terbangun menjadi struktur sosial dalam kehidupan di Bali. Leluhur kita jaman dulu sangat paham bahwa struktur sosial sangat penting didalam kehidupan sosial, bukan dimaksudkan untuk pengkotak-kotakan, justru hal itu dimaksudkan agar unsur alam atau taksu-taksu kehidupan tetap berjalan harmonis, terangnya.

Menurut dia, intisari Kisah Lubdaka ada dua, yakni “eling” dan “waspada”. Eling berarti sadar akan hakekat dan nilai-nilai hakiki kehidupan. Sedangkan Waspada lebih pada sikap diri, bahwa kita sebagai orang Bali harus mulai awas dan teliti melihat gejala negatif yang muncul ditengah masyarakat saat ini.

Baca Juga:  Bupati Tabanan Tinjau Dampak Bencana Cuaca Ekstrem di Pura Luhur Batukau

“Jadi kisah Lubdaka mengajarkan kita untuk bisa berpikir bijaksana. Misalnya kalau sebagai pemimpin kita harus betul-betul sebagai pemikir untuk kesejahteraan orang banyak, jabatan jangan dijadikan sekedar pekerjaan atau mencari uang.  Warga Bali kini sudah sangat materialistik, Bali mulai kehilangan budaya yang bisa membangkitkan taksu,”tandas IB Susena.

Hal senada juga disampaikan oleh ketua PHRI Tabanan Bagus Damara, momentum Siwa Ratri adalah malam menyadaran, nilai-nilai moral yang ada dalam kisah Lubdaka bisa diterjemakan dalam kegiatan seni dan budaya dalam program FPBT tahun berikutnya. Menurut Damara, untuk di Tabanan seni budaya akan lestari apabila budaya pertanian tetap dipertahankan, ucapnya.

Sedangkan seniman muda yang juga pembina Teater Jineng I Gede Arum Gunawan, sangat mengapresisasi adanya FPBT, apalagi organisasi ini sebagian besar anggotanya anak muda yang mau terlibat dalam kegiatan seni dan pelestarian budaya. Cuma ditegaskan oleh Arum yang juga selaku Guru di SMAN 1 Tabanan, dari sisi pendidikan, kalangan anak muda yang aktif terjun di dunia seni jangan sampai lupa dengan swadarma untuk menempuh pendidikan disekolah, tandasnya.

Diskusi yang digelar tidak jauh dari “titik nol” (Catus Pata) Desa Adat Kota Tabanan ini diakhiri tepat ditengah malam, acara kemudian dilanjutkan dengan meditasi dan doa bersama. (*/kr).

 

Berita Terkait

Back to top button
error: Konten ini terlindungi.